Definisi dan Pengertian Krisis
Ada perbedaan yang mendasar antara “Manajemen Krisis”
dan “Krisis Manajemen”. Manajemen krisis merupakan suatu manajemen pengelolaan,
penanggulangan atau pengendalian krisis hingga pemulihan citra perusahaan.
Sedangkan krisis manajemen merupakan kegagalan dari peranan manajemen krisis
dan persoalannya menjadi sulit untuk dipulihkan karena perusahaan yang
bersangkutan dinyatakan “bubar” baik secara hukum maupun operasionalnya.
Pada umumnya, krisis dilihat sebagai suatu situasi
atau kejadian yang lebih banyak mempunyai implikasi negatif pada organisasi
daripada sebaliknya.
K. Fearn-Banks mendefinisikan krisis sebagai
“Suatu kejadian penting dengan hasil akhir cenderung negatif yang berdampak
baik terhadap sebuah organisasi, perusahaan atau industri, maupun terhadap
publik, produk, servis atau reputasinya”. Biasanya sebuah krisis mengganggu
transaksi normal dan kadang mengancam kelangsungan hidup atau keberadaan
organisasi.
Krisis pada dasarnya adalah sebuah situasi yang tak
terduga, artinya organisasi umumnya tidak dapat menduga bahwa akan muncul
situasi yang dapat mengancam keberadaannya. Sebagai ancaman, ia harus ditangani
secara cepat agar organisasi dapat berjalan normal kembali. Untuk itu, Holsti melihat krisis sebagai “situasi
yang dikarakterisasikan oleh kejutan, ancaman besar terhadap nilai-nilai
penting, serta waktu memutuskan yang sangat singkat”. Krisis membawa
keterkejutan dan sekaligus mengancam nilai-nilai penting organisasi serta hanya
ada waktu yang singkat untuk mengambil keputusan.
Shrivastava & Mitroff mendefinisikan krisis perusahaan
sebagai “peristiwa yang mengancam tujuan terpenting untuk bertahan dan
mendapatkan keuntungan”. Krisis, menurut mereka diasosiasikan dengan kerusakan
yang berskala luas terhadap kehidupan manusia, lingkungan alam dan institusi
sosial dan politik.
Pauchant & Mitroff mengatakan bahwa krisis merupakan
“sebuah gangguan yang secara fisik memberikan dampak pada suatu sistem sebagai
suatu kesatuan serta mengancam asumsi dasarnya, kesadaran subjektif akan dirinya
serta pusat keberadaannya”. Menurut mereka, krisis biasanya memiliki tiga
dampak, yaitu ancaman terhadap legitimasi organisasi, adanya perlawanan
terhadap misi organisasi serta terganggunya cara orang melihat dan menilai
organisasi.
C.G. Linke melihat krisis sebagai
ketidaknormalan dari konsekuensi negatif yang meng-ganggu operasi sehari-hari
sebuah organisasi. Menurutnya, sebuah krisis akan berakibat pada adanya
kematian, menurunnya kualitas kehidupan dan menurunnya reputasi perusahaan.
Bagi Laurence Barton (1993:2), sebuah krisis
adalah peristiwa besar yang tak terduga yang secara potensial berdampak negatif
terhadap baik perusahaan maupun publik. Peristiwa ini mungkin secara cukup
berarti merusak organisasi, karyawan, produk dan jasa yang dihasilkan organisasi,
kondisi keuangan dan repuasi perusahaan.
Michael Regester & Judy Larkin (2003:131)
mendefinisikan krisis sebagai sebagai sebuah peristiwa yang menyebabkan
perusahaan menjadi subjek perhatian luas (cenderung tidak menyenangkan) dari
media nasional dan internasional serta kelompok-kelompok seperti pelanggan,
pemegang saham, karyawan & keluarga mereka, para politisi, serikat
perdagangan serta kelompok-kelompok penekan yang, dengan suatu alasan atau
lebih, memiliki kepentingan yang dibenarkan terhadap kegiatan-kegiatan
organisasi.
Namun ada juga beberapa pakar yang melihat bahwa
krisis tidak selalu menjadi penyebab perusahaan pada kebangkrutan. Contohnya Steven
Fink yang melihat krisis
sebagai “suatu waktu/keadaan yang tak stabil terhadap suatu masalah sehingga
sebuah perubahan penting akan terjadi – baik perubahan dengan kemungkinan yang
mudah dilihat akan hasil yang sangat tidak diharapkan atau perubahan dengan
kemungkinan yang mudah dilihat akan hasil positif yang sangat diharapkan”.
Dalam kamus Webster, krisis didefinisikan sebagai “suatu titik balik untuk menuju keadaan lebih baik atau
lebih buruk”. Jadi dari suatu situasi ini, perusahaan dapat menjadi lebih baik
atau lebih buruk. Contoh perusahaan yang menjadi lebih baik setelah krisis
adalah Johnson & Johnson yang berhasil mengatasi kasus racun sianida
dalam Tylenol, salah satu produk obat sakit kepala unggulannya sehingga
reputasi perusahaannya justru terangkat.
Apakah sebuah krisis akan menjadikan organisasi
menjadi lebih baik atau lebih buruk sangat tergantung pada bagaimana pihak
manajemen mempersepsi dan kemudian merespon situasi tersebut atau sangat
tergantung pada pandangan, sikap dan tindakan yang diambil terhadap krisis
tersebut. Sebuah krisis mungkin dapat ditangani dengan segera dengan melibatkan
sedikit orang, tetapi krisis lain mungkin harus ditangani dengan mengerahkan
sebagian besar sumber daya yang dimiliki organisasi
Krisis tidak pandang bulu dan bisa
menimpa siapa saja. Seperti kata Barton (1993:3): “Krisis menyerang
korporasi, organisasi non profit, badan-badan pemerintahan, servis, perusahaan
hingga keluarga”. Setiap organisasi sangat punya peluang untuk mengalami
krisis.
Pinsdorf menambahkan bahwa “tidak ada satu
perusahaan pun yang kebal terhadap krisis, tetapi dengan riset, perencanaan dan
pelatihan yang penuh kewaspadaan, biasanya krisis dapat dikelola dan dikurangi
dampaknya.”
2. Penyebab Krisis
Mengenali jenis atau tipe krisis penting mengingat masalah penentuan
siapa yang bersalah dan respon yang harus dibuat perusahaan yang sedang
menghadapi krisis. Berikut ini adalah beberapa tipe krisis yang dikemukakan
para pakar menggunakan berbagai dimensi (Putra, 1999:90-94):
v Sturges dkk
ð Dimensi violent-non violent dan dimensi sengaja-tak sengaja.
v Shrivastava & Mitroff
ð Dimensi kerusakan yang dihasilkan (berat/ringan) dan dimensi penyebab
krisis dari segi teknis dan sosial.
v Marcus & Goodman
ð Dimensi tingkat kemungkinan ditolak dan berdasarkan keadaan korban
krisis.
v C.G. Linke
ð Dimensi waktu kemunculan sebuah krisis.
Shrivastava & Mitroff membagi krisis ke dalam empat
kategori berdasarkan penyebab krisis dikaitkan dengan tempat krisis. Penyebab
krisis dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar: penyebab teknis dan
ekonomis serta penyebab manusiawi, organisatoris dan sosial. Mereka juga
mengkategorikan penyebab krisis dilihat dari sudut tempat asal atau kejadian
apakah di dalam atau di luar organisasi. Berdasarkan kategori ini, mereka
membuat empat sel untuk melihat Tipologi
Krisis:
TIPOLOGI KRISIS
Teknis/Ekonomis
SEL 1
|
SEL 2
|
ð Krisis yang disebabkan adanya kegagalan teknis ekonomis di dalam
organisasi:
|
ð Krisis yang disebabkan faktor teknis-ekonomis yang terjadi di luar
perusahaan:
|
* Kecelakaan kerja
|
* Perusakan lingkungan yang meluas
|
* Kerusakan produk
|
* Bencana alam
|
* Kemacetan computer
|
* Hostile Takeover (pengambilalihan yg kasar)
|
* Informasi yang rusak/kurang sempurna
|
* Krisis social
|
* Kerusakan sistem berskala luas
|
|
INTERNAL
|
EKSTERNAL
|
SEL 3
|
SEL 4
|
ð Krisis yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial/manusia dan
manajemen yang bersumber di dalam perusahaan:
* Kegagalan beradaptasi/melakukan perubahan
|
ð Krisis yang terjadi karena faktor2 sosial di luar lingkungan
organisasi, yakni adanya orang/kelompok yang bereaksi secara negatif terhadap
perusahaan:
|
* Sabotase oleh orang dalam (karyawan)
|
* Symbolic projection
|
* Kemacetan organisasional (pemogokan)
|
* Sabotase orang luar
|
* Kemacetan komunikasi
|
* Teroris, penculikan eksekutif
|
* On-site product tampering
|
* Off-site product tampering
|
* Aktivitas ilegal
|
* Pemalsuan/peniruan produk
|
* Penyakit karena pekerjaan
|
|
Manusia/Organisasional/Sosial
Dengan demikian, penyebab krisis menurut mereka dapat
dikategorikan menjadi:
a) Karena
kesalahan manusia (human error)
b) Karena
kegagalan teknologi
c) Karena alasan
sosial (kerusuhan, perang, sabotase, teroris)
d) Karena
berkaitan dengan bencana alam
e) Karena
ketidakbecusan manajemen
Sebuah krisis mungkin disebabkan hanya satu faktor, tetapi sangat
sering terjadi krisis akibat kombinasi faktor-faktor di atas. Contohnya adalah
kasus kecelakaan Bhopal di bulan Desember 1984. 40 ton gas beracun
methyl isocyanate bocor dari tank penyimpan bawah tanah pada pabrik
pestisida Union Carbide dan menewaskan 3000 orang serta ratusan ribu
orang terkena radiasinya. Di sini, ada faktor kesalahan manusia karena
membiarkan masuknya air ke dalam tank yang menyebabkan peledakan. Namun juga
ada kegagalan teknologi akibat rancangan pabrik tersebut tidak memperhitungkan
kemungkinan human error yang terjadi serta tidak berfungsinya mekanisme
penyelamat. Faktor dominan penyebab ledakan tersebut adalah masalah manajerial
berupa kurangnya prosedur penyelamatan serta kurangnya latihan operator. Secara
sosial pun proyek ini kurang layak karena pemerintah India mengijinkan pabrik
ini beroperasi di kawasan perkampungan yang padat.
Dalam buku Rosady Ruslan (1999:99-100)
diberikan beberapa contoh peristiwa yang berpotensi menjadi krisis sebagai
berikut:
1) Masalah
pemogokan atau perselisihan perburuhan.
2) Produk
kedapatan tercemar/terkontaminasi menjadi racun yang membahayakan masyarakat
sebagai konsumennya.
3) Desas-desus
atau rumor dan meluasnya berita yang bersifat negatif atau terciptanya opini
publik yang kurang menguntungkan.
4) Masalah
pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dan alam yang disebabkan ulah
manusia, serta kecelakaan industri.
5) Kredit macet, issue
kalah kliring, likuidasi dan deposito akan dikonversikan menjadi obligasi di
bank-bank pemerintah atau swasta yang pada akhirnya dapat terjadi rush sehingga
menurun-kan kepercayaan dan citra perbankan nasional, krisis moneter serta berakibat
resesi ekonomi.
6) Kecelakaan
industri atau jatuhnya sebuah pesawat yang mengakibatkann kerugian harta benda
dan korban jiwa, serta menimbulkan peristiwa traumatik atas jasa perusahaan
penerbangan bersangkutan.
7) Perubahan
peraturan perundangan-undangan atau kebijakan pemerintah yang menyebabkan pihak
perusahaan mengalami kerugian atau kebangkrutan bisnis.
8) Peristiwa
menakutkan yang diakibatkan oleh serangan teroris, masalah sara, krisis
moneter, sosial dan politik, sehingga menimbulkan kasus penjarahan, pembakaran,
dan sebagainya yang berkait dengan masalah sensitif atau timbulnya kasus-kasus
sangat peka lainnya di masyarakat.
9) Kegagalan dari
suatu kampanye, promosi periklanan atau publikasi menimbulkan dampak negatif;
seperti adanya unsur penipuan, pelecehan dan penghinaan sehingga terjadi protes
atau kecaman dari masyarakat luas.
Maria Wongsonagoro (1995:1)
menambahkan beberapa sebab terjadinya krisis (yang beberapa di antaranya sudah
disebutkan di atas):
a) Krisis
persepsi masyarakat, yakni negatifnya opini publik terhadap perusahaan.
b) Krisis akibat
pergeseran pasar yang terjadi dengan tiba-tiba dan perusahaan dapat kehilangan
pangsa.
c) Krisis yang
menyangkut produk, entah itu akibat salah satu produksi atau produk terkena issue
sehingga citranya jatuh, dan sebagainya.
d) Krisis yang
diakibatkan oleh pergeseran pimpinan.
e) Krisis yang
ditimbulkan oleh masalah keuangan.
f) Krisis yang
menyangkut hubungan industri, apakah itu urusan tenaga kerja, keselamatan
kerja, lingkungan dan sebagainya.
g) Krisis yang
diakibatkan pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain dalam suasana
permusuhan atau hostile takeover.
h) Krisis yang
diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa internasional yang berdampak negatif
terhadap perusahaan.
i) Krisis yang
disebabkan oleh peraturan-peraturan baru yang digariskan oleh pemerintah atau
deregulasi.
Bila perusahaan kita bergerak dalam
bidang manufaktur (terutama jika ada produk-produk yang berhubungan dengan
lingkungan dan medis), transportasi, produk makanan, penginapan dan konstruksi,
resiko mengalami krisis sangat tinggi. Karena itu, bagi mereka yang bekerja
pada perusahaan-perusahaan di atas harus mempersiapkan diri terhadap
kemungkinan terjadinya krisis.
3. Akibat dari Krisis
Dalam Rosady Ruslan (1999:73),
disebutkan situasi krisis pada suatu perusahaan atau organisasi akan
menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
a) Meningkatkan intensitas masalah
b) Menjadi sorotan publik, baik
melalui liputan media massa, informasi yang disebarkan melalui mulut ke mulut.
c) Mengganggu kelancaran kegiatan
dan aktivitas bisnis sehari-hari serta mengganggu nama baik serta citra
perusahaan.
d) Merusak sistem kerja, etos kerja
dan mengacaukan sendi-sendi perusahaan secara total yang mengakibatkan
lumpuhnya kegiatan.
e) Membuat masyarakat ikut-ikutan
panik.
f) Mengundang campur tangan
pemerintah, yang mau tidak mau harus turut mengatasi masalah yang timbul.
g) Dampak atau efek dari krisis
tersebut, tidak saja merugikan perusahaan yang bersangkutan, tetapi juga
masyarakat tertentu atau lainnya ikut merasakan akibatnya.
HUBUNGAN ANTARA ISSUE, OPINI PUBLIK DAN KRISIS
Di bahasan sebelumnya, kita membaca bahwa salah satu
peristiwa yang berpotensi menjadi krisis adalah opini publik yang kurang
menguntungkan. Sebelum kita melihat hubungan hubungan antara issue,
opini publik dan krisis, tentu saja kita harus mengetahui apa yang dimaksud
dengan opini publik (setelah kita mengetahui pengertian issue dan
krisis).
Menurut Scott Cutlip, Allen Center & Glen
Broom, opini publik
“mencerminkan sebuah konsensus, yang muncul setelah beberapa saat, dari seluruh
pandangan yang ditujukan terhadap suatu permasalahan dalam diskusi, dan
konsensus tersebut memiliki kekuatan”.
Opini publik bekerja dalam dua cara, yaitu sebagai
sebab dan sekaligus sebagai akibat dari kegiatan PR. Opini publik yang dipegang
teguh akan mempengaruhi keputusan manajemen. Sebaliknya, tujuan program PR
adalah untuk mempengaruhi opini publik.
Sebagian besar masyarakat memiliki opini terhadap
berbagai hal. Dan bila opini mereka digabungkan serta difokuskan oleh media
massa, maka opini perorangan atau kelompok tersebut dapat menjadi sebuah opini
publik. Media tidak mendikte apa yang masyarakat pikirkan, namun mereka
menyediakan sarana untuk membahas permasalahan-permasalahan dan memperkuat
pandangan ‘publik’ jika suatu masalah menjadi sorotan.
Bila kita kembali kepada pengertian dari issue
sebagai “suatu masalah yang belum terpecahkan namun siap diambil keputusannya”,
mulai terlihat benang merah dalam hubungan antara issue, opini publik
dan krisis. Seperti sudah dibahas dalam materi sebelumnya, sebuah issue
yang timbul ke permukaan adalah suatu kondisi atau peristiwa, baik di dalam
maupun di luar organisasi, yang jika dibiarkan akan mempunyai efek yang
signifikan pada fungsi atau kinerja organisasi tersebut atau pada target-target
organisasi tersebut di masa mendatang. Bila issue yang muncul tersebut
tidak dikendalikan dan dikelola dengan baik, maka potensinya untuk menjadi
krisis sangat besar. Suatu issue bisa berasal dari sebagian kecil
populasi. Namun jika mereka tertarik terhadap masalah tersebut dan bersama-sama
bergabung menjadi kelompok yang besar serta dibantu oleh media massa dalam
memfokuskan masalahnya, maka issue tersebut akan berkembang, meluas di
masyarakat sehingga menjadi issue publik yang dapat mempengaruhi kinerja
atau target suatu bisnis.
Contohnya adalah kasus pencemaran teluk Buyat oleh PT.
Newmont Minahasa Raya. Issue muncul dari luar perusahaan dan dari
suatu populasi kecil, yakni penyakit gatal-gatal yang diderita oleh masyarakat
sekitar teluk tersebut. Adanya LSM (WALHI) yang mengadakan penelitian pada
teluk Buyat dan menemukan kandungan merkuri mencemari teluk tersebut dan
menuding PT. NMR bertanggungjawab dalam kasus pencemaran lingkungan ini.
Dibantu dengan LBH Kesehatan yang “mengompori” masyarakat sekitar PT. NMR
dengan mengklaim bahwa penyakit gatal-gatal yang diderita oleh mereka berasal
dari pencemaran teluk Buyat, maka masyarakat sekitar PT. NMR ini bersama-sama
dengan LBH Kesehatan dan WALHI menuntut pertanggunganjawaban PT. NMR dalam
masalah tersebut. Media massa mulai mengangkat issue tersebut sehingga
liputan kasus ini semakin meluas. Ketidaksiapan PT. NMR dalam mengendalikan dan
mengelola issue menyebabkan issue berubah menjadi krisis.
Pemerintah sebagai otoritas kekuasaan perundangan tertinggi mulai terlibat dan
pada akhirnya meminta PT. NMR menghentikan kegiatan operasionalnya agar issue
mereda. Kasus ini jelas sekali memperlihatkan hubungan antara issue,
opini publik dan krisis.
Contoh Kasus
PT. TELKOM
“Indonesia rentan
terhadap bencana alam dan peristiwa-peristiwa di luar kendali kami, yang
berpengaruh negatif pada bisnis dan hasil usaha kami”
“Banyak daerah di Indonesia, termasuk daerah di mana kami beroperasi, rentan terhadap bencana alam seperti banjir, petir, angin ribut, gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, kebakaran dan juga kekeringan, pemadaman listrik dan peristiwa lainnya yang berada di luar kendali kami. Kepulauan Indonesia adalah salah satu daerah vulkanik paling aktif di dunia karena berada di zona konvergensi dari tiga lempeng litosfer utama, sehingga mengalami aktivitas seismik yang dapat menyebabkan gempa bumi, tsunami atau gelombang pasang yang merusak. Dari waktu ke waktu, bencana alam telah menelan korban jiwa, merugikan atau membuat sejumlah besar masyarakat mengungsi dan merusak peralatan kami. Peristiwa-peristiwa seperti ini telah terjadi di masa lalu, dan dapat terjadi lagi di masa depan, mengganggu kegiatan usaha kami, menyebabkan kerusakan pada peralatan dan memberikan pengaruh buruk terhadap kinerja finansial dan keuntungan kami.”
“Banyak daerah di Indonesia, termasuk daerah di mana kami beroperasi, rentan terhadap bencana alam seperti banjir, petir, angin ribut, gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, kebakaran dan juga kekeringan, pemadaman listrik dan peristiwa lainnya yang berada di luar kendali kami. Kepulauan Indonesia adalah salah satu daerah vulkanik paling aktif di dunia karena berada di zona konvergensi dari tiga lempeng litosfer utama, sehingga mengalami aktivitas seismik yang dapat menyebabkan gempa bumi, tsunami atau gelombang pasang yang merusak. Dari waktu ke waktu, bencana alam telah menelan korban jiwa, merugikan atau membuat sejumlah besar masyarakat mengungsi dan merusak peralatan kami. Peristiwa-peristiwa seperti ini telah terjadi di masa lalu, dan dapat terjadi lagi di masa depan, mengganggu kegiatan usaha kami, menyebabkan kerusakan pada peralatan dan memberikan pengaruh buruk terhadap kinerja finansial dan keuntungan kami.”
“Gempa bumi yang melanda sebagian wilayah Jawa Barat pada
tanggal 2 September 2009 menyebabkan kerusakan pada aset Perusahaan. Pada
tanggal 30 September 2009 terjadi gempa di Sumatera Barat, yang mengganggu
penyediaan layanan telekomunikasi di beberapa lokasi. Walaupun Tim Manajemen
Krisis kami bekerjasama dengan karyawan dan mitra kami berhasil memulihkan
layanan dengan cepat, gempa tersebut menyebabkan kerusakan parah terhadap aset
kami. Ada sejumlah gempa bumi terdeteksi pada tahun 2010 hingga 2013, walau
tidak satupun yang memberikan risiko signifikan terhadap bisnis kami pada
umumnya.”
Analisis:
Dari contoh kasus yang didapat, PT. Telkom sudah baik dalam
menangani manajemem krisis, dan akan lebih baik lagi ditingkatkan kinerjanya
dalam mengatasi masalah yang ada.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar