Selasa, 11 Februari 2014

Bapak Koperasi Indonesia


Ngomong-ngomong soal koperasi, tahukah kamu siapa bapak Koperasi Indonesia? ya, beliau adalah  Dr. Drs. H. Mohammad Hatta atau biasa dikenal dengan nama Bung Hatta. Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat tangga 12 Agustus 1902. Mohammad Hatta juga adaalah wakil presiden pertama Republik Indonesia sejak 18 Agustus 1945 - 1 Desember 1956.
Menurut buku ke-1 otobiografi beliau yang berjudul “Mohammad Hatta, Untuk Negeriku Sebuah Otobiografi” yang bercerita tentang masa kecil Bung Hatta di tanah kelahirannya serta perjalanan sekolah sejak di Padang sampai melanjutkan kuliah di Belanda, disebutkan bahwa Hatta adalah seorang yang ulet.
Pada buku tersebut juga dijelaskan pandangan beliau tentang bunga, pembagian harta berdasarkan garis keturunan ibu (materelineal) dan garis keturuanan ayah (patrineal) yang digambarkan dengan sederhana sehingga mudah dipahami. Sebagai suku yang menganut paham materelineal, cenderung membuat orang Minang lebih dekat pada keluarga ibu dibandingkan pada keluarga ayah. Namun tidak demikian dengan Bung Hatta, pendekatan beliau terhadap keluarga besar ayah maupun keluarga besar ibu yang sangat baik membuat beliau disayang oleh keluarga kedua belah pihak atau yang sering disebut dalam bahasa Minang “bako”.
Sejak sekolah di kota Padang, Bung Hatta telah menunjukkan ketertarikannya pada pergerakan pemuda. Pada tahun 1916 pergerakan pemuda menunjukkan geliat dengan mulai terbentuknya perkumpulan-perkumpulan seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Ambon. Sesuai dengan domisili beliau saat itu, Hatta muda bergabung pada perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Beliau memulai kiprah karir di dunia politiknya dengan menjabat sebagai bendahara pada perkumpulan pemuda tersebut. Selama menduduki jabatan ini Bung Hatta banyak belajar akan pentingnya arti keuangan bagi kelancaran sebuah organisasi.
Perjalanan hidup Bung Hatta berlanjut di negeri Belanda. tahun 1921 Hatta menetap di Rotterdam untuk belajar pada Handels Hoge School. Setahun menetap di kota tersebut, beliau bergabung dengan sebuah perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda yang bernama Indische Vereeniging. Pada awal pendiriannya, organisasi ini merupakan perkumpulan bagi pelajar biasa, tetapi seiring dengan kebutuhan bangsa saat itu berubah menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan dengan bergabungnya tiga tokoh Indische Partij, yaitu Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo. Kemudian perkumpulan ini berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Selama tergabung pada Perhimpunan Indonesia, Hatta juga memulai karir politiknya dengan menjabat sebagai bendahara pada tahun 1922 dan berhasil terpilih menjadi ketua pada tahun 1925. PI di bawah kepemimpinan Bung Hatta berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mampu memengaruhi politik Indonesia sehingga diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) sebagai garda depan pergerakan nasional yang berada di Eropa. Seiring dengan aktivitas politiknya, Bung Hatta juga berhasil lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923.
Selama menjadi ketua PI, Bung Hatta melakukan beberapa kegiatan penting. Salah satunya memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional pada tahun 1926 untuk membicarakan perdamaian di Berville, Perancis. Kegiatan ini secara tidak langsung memperkenalkan nama Indonesia di kalangan organisasi-organisasi internasional. Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda sekaligus meluaskan jaringan dengan beberapa tokoh dunia, salah satunya berkenalan dengan aktivis India, Jawaharhal Nehru.
Kegiatan politik Bung Hatta mulai dianggap sebagai sebuah ancaman sehingga menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdulmadjid Djojodiningrat. Udara kebebasan kembali dirasakan Bung Hatta dan ketiga rekannya setelah mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang tersebut, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang kemudian diterbitkan dengan nama “Indonesia Vrij” dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
Pada bulan Juli tahun 1932, Hatta berhasil menamatkan studinya di Belanda dan kembali ke Indonesia. Setibanya di tanah air, beliau bergabung dengan organisasi Partai Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk memberikan pendidikan pada kader-kader politik serta meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui pelatihan-pelatihan.
Pada tahun 1933 pemerintah kolonial Belanda mengasingkan Ir. Soekarno ke Ende, Flores. Hatta pun tidak tinggal diam dengan tindakan Belanda tersebut. Melalui tulisannya di berbagai media Hatta menentang keras pengasingan tokoh yang kemudian hari menjadi presiden pertama Indonesia itu. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda mulai mengalihkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia tempat Hatta bernaung. Tujuh orang pimpinan partai akhirnya ditahan dan kemudian diasingkan ke Boven Digoel (Papua), salah satu di antaranya Mohammad Hatta. Pada Januari 1935, Hatta dan ke-6 kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel, sebagai tempat pengasingan. Selama masa pengasingan di Digoel, Hatta tidak berhenti melakukan kegiatan menulis di berbagai surat kabar. Setelah delapan tahun diasingkan, akhirnya Hatta dipindahkan ke Sukabumi pada tahun 1942. Tidak lama kemudian, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang sehingga Hatta dapat kembali ke Jakarta.
Pada masa penjajahan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sebagai penasehat bagi pemerintah Jepang. Pada saat itulah Hatta menyampaikan keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka sehingga terus mendesak Jepang untuk memberi pengakuan tersebut. Bung Hatta pun melakukan pidato yang disampaikannya di Lapangan Ikada yang saat ini dikenal dengan nama Lapangan Merdeka pada 8 Desember 1942 yang membangkitkan semangat banyak kalangan. Beliau mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali”. Kegigihan beliau dan pejuang kemerdekaaan lain pun berbuah hasil dengan diperolehnya pengakuan kedaulatan oleh Jepang pada bulan September 1944.
Akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 menjadi hari paling bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia. Bertempat di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, tepat pukul 10.00 WIB kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Berita kemerdekaan Republik Indonesia sampai ke negeri Belanda sehingga ingin kembali menjajah Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, Juli 1947 Hatta berusaha meminta dukungan ke India melalui Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi. Perjalanan panjang menghimpun dukungan berbuah hasil dengan diperolehnya pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Ratu Juliana yang disampaikan kepada Bung Hatta pada 27 Desember 1949.
Selama diamanahi menjadi wakil presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah, pelatihan di berbagai lembaga pendidikan tinggi dan menulis banyak buku di bidang ekonomi dan koperasi. Beliau juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan konsep ekonomi sesuai dengan pemahamannya yang sangat memadai. Pada 12 Juli 1951, Bung Hatta berpidato melalui radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Atas perjuangan dan jasanya dalam pergerakan koperasi di tanah air, maka pada tanggal 17 Juli 1953 beliau diberi gelar kehormatan sebagai Bapak Koperasi Indonesia yang berlangsung pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun tahun 1971 memuat ide-ide beliau mengenai koperasi.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai wakil presiden RI, beliau terus melanjutkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan berhasil memperoleh gelar kehormatan akademis, di antaranya gelar Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Universitas Indonesia, Jakarta, dan gelar yang sama di bidang ekonomi dari Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Gelar Guru Besar Ilmu Politik Perekonomian pun beliau peroleh dari Universitas Padjadjaran, Bandung.
Dalam kehidupan pribadi, Bung Hatta menikahi seorang perempuan bernama Rachim Rahmi pada 18 November 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Beliau dikaruniai tiga orang putri yaitu Meutia Farida Hatta Swasono, Gemala Hatta dan Halida Hatta. Pada 14 Maret 1980 bapak koperasi Indonesia menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Cipto Mangunkusumo. Atas jasa dan perjuangannya bagi bangsa ini, Dr. H. Mohammad Hatta dianugerahi tanda kehormatan tertinggi Republik Indonesia yaitu “Bintang Republik Indonesia Kelas I” yang diberikan oleh Presiden Soeharto.


sumber : http://mjeducation.com/sepenggal-kisah-bapak-koperasi-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar